top of page

Arindah Arimoerti Dano, M.Psi, Psikolog - Psikolog Klinis dan Advisor Pijar Psikologi

Ketika membicarakan disabilitas, salah satu ragam yang jarang diangkat adalah disabilitas emosi, yang juga dikenal dengan istilah gangguan jiwa. Tidak dipungkiri kesadaran tentang kesehatan mental di masyarakat Indonesia masih rendah. Ini lah yang mendorong pendirian Pijar Psikologi, sebuah media nirlaba (nonprofit) yang berfokus pada isu kesehatan mental. Klobility berbincang dengan Arindah Arimoerti Dano, Psikolog Klinis dan advisor untuk pelayanan psikologis dan pelayanan masyarakat di Pijar Psikologi.


Hai, Arindah! Bisa perkenalkan diri kamu dan Pijar Psikologi ke Teman Inklusi?

Halo! SayaArindah, Psikolog Klinis dan advisor untuk pelayanan psikologis dan pelayanan masyarakat di Pijar Psikologi. Pijar Psikologi merupakan sebuah media nonprofit yang bermimpi membawa isu psikologi secara lebih dekat ke masyarakat. Didirikan pada tahun 2015, Pijar Psikologi ingin mengedukasi masyarakat luas akan isu kesehatan mental. Para pendiri memulai Pijar Psikologi sebagai respons akan keresahan terhadap beredarnya informasi tentang psikologi dan kesehatan mental yang kurang terpercaya. Padahal proses memahami adalah pintu pertama seseorang untuk bisa mengubah perilakunya. Kami sadar betul kalau masyarakat Indonesia secara umum belum semuanya paham tentang isu ini sehingga ada rasanya khawatir jika mereka justru mengerti hal-hal yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenaran informasinya. Makanya, kami hadir dalam bentuk artikel ilmiah populer dengan harapan tetap dekat dan mudah dipahami, namun tidak menghilangkan esensi dan validitas dari informasinya itu sendiri. Kalau di hierarki psychological intervention, kita ada di level yang pertama: mengedukasi, sifatnya preventif.


Apa yang membuat Arindah terjun di isu kesehatan mental?

Hm... karena latar belakang pendidikan saya psikologi, dan kebetulan sejak awal kuliah memang tertarik di dunia kesehatan mental, spesifiknya di Psikologi Klinis. Saat itu, rasanya hanya tertarik saja. Sejak masih sekolah, saya selalu tertarik dengan biologi dan penyakit-penyakit fisik. Tapi, setelah masuk langsung ke dunia psikologi, saya jadi mau tidak mau juga ikut menyelami hidup saya sendiri. Dari situ, saya menemukan ternyata banyak juga ya yang belum selesai di hidup saya. Ternyata saya dan keluarga saya cukup dekat dengan gangguan jiwa, tapi saya tidak pernah sadar sebelumnya sampai saya kuliah S1. Seperti keluarga saya, jutaan orang di luar sana banyak yang belum paham dan belum aware dengan isu ini. Padahal dampaknya besar sekali jika kita bisa merawat kesehatan mental kita dengan baik.


Apa stigma yang ingin dipatahkan tentang orang dengan disabilitas emosi/gangguan mental melalui Pijar Psikologi?

Jika berbicara tentang stigma di sekitar gangguan jiwa rasanya tidak ada habisnya ya haha. Tentunya, kami ingin menghapuskan stigma bahwa mereka adalah orang yang tidak berdaya. Bahwa gangguan mental/disabilitas emosi adalah akhir dari segalanya. Melalui Pijar Psikologi, kami ingin menyampaikan bahwa gangguan mental bisa dilewati, bisa dihadapi, dan kita masih bisa tetap berdaya meskipun mengalami masalah. Gangguan mental tidak berbeda dengan gangguan fisik, yang bisa ditangani, bisa disembuhkan, dan bisa dicarikan jalan keluarnya. Ini hanya beberapa contoh kecil dari stigma yg masih ada sekarang. Yang akhirnya, stigma ini membawa kita pada kondisi yang lebih buruk lagi: tidak ada social support, terlambat mendapatkan pendampingan dari profesional, atau justru mendapat penanganan yang salah.

Selama 5 tahun berjalan, apa kendala yang sering Pijar Psikologi temukan?

Karena fokus kami adalah pada proses edukasi dan memberikan informasi, kendala yang sering kami temui adalah kesadaran dan kemauan membaca dari masyarakat itu sendiri. Berulang kali kami mengganti design poster, strategi penyampaian informasi kami ubah, agar informasinya tetap bisa sampai ke masyarakat meskipun sedikit. Namun, masih kerap kami temui pembaca yang memahami informasinya secara tidak lengkap. Bentuk lain dari kurangnya minat baca masyarakat adalah masih banyak masyarakat yang mempercayai stigma dan stereotype negatif dari gangguan jiwa, dan menolak ketika orang lain berusaha memberikan pengertian atau ajakan untuk membaca agar tidak salah kaprah.

Apa yang ingin ditingkatkan lagi?

Rasanya kami ingin bisa menjangkau lebih banyak orang dengan latar belakang yang lebih beragam. Saya pribadi maupun Pijar Psikologi ingin bisa menjangkau lebih banyak orang, tanpa terbatas dengan sambungan internet dan teknologi. Karena Indonesia kan masih memiliki banyak daerah yang belum semodern Jakarta atau kota-kota besar lainnya. Karena itu, beberapa waktu lalu kami membuat buku, harapannya agar bisa banyak orang yang bisa tersentuh, meskipun masih banyak keterbatasan-keterbatasan lainnya.


Apa yang menjadi motivasi teman-teman untuk terus semangat menggaungkan isu kesehatan mental?

Melihat semakin banyaknya orang yang berani membicarakan isu ini, semakin banyak yang mulai bergerak dan mencari pertolongan, dan semakin banyak juga public figure yang turut turun tangan. Hal-hal itu yang membuat kami semakin optimis Indonesia bisa semakin terbuka dan mengerti kesehatan mental dengan baik. Apalagi, ketika menerima DM/email dari pembaca yang bercerita bagaimana layanan kami merubah hidup mereka, memberikan pencerahan bagi mereka. Rasanya segala lelah menguap seketika dan terbayar semua. Kami percaya, sekecil apapun usaha yang kita lakukan, pasti bisa membawa manfaat untuk setidaknya satu orang di luar sana. Hal yang kita anggap sederhana mungkin adalah segalanya bagi seseorang di luar sana.

Ketika membicarakan disabilitas fisik atau sensorik, seringkali dihadapkan dengan isu aksesibilitas. Bagaimana dengan penyandang disabilitas emosi?

Sangat ada. Untuk mereka yang mengalami disabilitas emosi, masih banyak kesulitan yang mereka alami, terutama yang diakibatkan oleh stigma. Akses terhadap informasi, pendidikan, bahkan pekerjaan juga masih jadi tantangan besar untuk mereka. Tidak jarang perusahaan menolak mereka yang memiliki riwayat gangguan mental, atau memecat karyawannya dengan gangguan jiwa secara langsung atau tidak langsung. Seringkali kami mendengar mereka dianggap sebagai biang onar, buat pusing, tidak bisa mengerjakan pekerjaan. Akhirnya seperti bola salju, terus menggulung dan jadi semakin besar masalahnya, hingga dikeluarkan. Ingin sekali rasanya melihat lebih banyak orang dengan disabilitas emosi bisa kembali produktif setelah keluar dari rumah sakit jiwa, bisa bekerja, atau bergabung dalam organisasi/komunitas, atau semudah bisa dengan mudah mengajukan izin cuti/pulang cepat karena ada janji konsultasi dengan psikolog.


Akses terhadap informasi juga masih sulit. Sejauh yang kami amati, belum ada portal informasi yang memberikan list penyedia jasa kesehatan mental yang lengkap. Biasanya masih terpotong-potong atau hanya mampu merangkum sedikit. Kalaupun ada, biasanya data profesionalnya secara perseorangan, bukan institusi. Biasanya kalau datanya perseorangan begitu, tarifnya juga tinggi. Jadi, untuk mereka yang level ekonominya menengah ke bawah, jelas tidak akan mampu mengakses layanannya. Pijar Psikologi sudah berusaha untuk menjawab permasalahan ini dengan memberikan list pemberi layanan kesehatan mental. Namun, tentu kami masih membutuhkan informasi tambahan dari masyarakat.

Akses terhadap pendidikan juga masih banyak yang perlu kita lakukan. Belum semua sekolah dilengkapi atau bekerjasama dengan psikolog atau konselor yang mampu mengelola anak dengan masalah disabilitas emosi. Untuk sekolah-sekolah swasta, saya rasa sebagian besar sudah bisa secara mandiri menyediakan psikolog yang stand by. Namun, lebih banyak jumlah sekolah yang belum dilengkapi layanan tersebut. Padahal sekolah merupakan tempat kedua selain rumah di mana anak menghabiskan sebagian besar waktunya. Hampir sepertiga waktu anak usia 13-18 tahun dihabiskan di sekolah, sepertiga lainnya istirahat, dan sepertiga sisanya dihabiskan untuk hal lain. Sangat rentan anak-anak mengalami distress selama di sekolah, potensi penyebabnya banyak, mulai dari beban akademik hingga relasi sosial. Meskipun sangat diperlukan, pemahaman ini belum seragam disepakati oleh pengambil kebijakan.

Pesan untuk perusahaan atau organisasi yang belum berani berinteraksi dengan penyandang disabilitas?

Perlu dipahami bahwa gangguan jiwa itu datang dalam bentuk episode. Ada saatnya gangguan itu muncul, namun lebih banyak waktu dimana gangguan itu tidak muncul. Di saat-saat tersebut lah biasanya mereka bisa bekerja dan beraktivitas. Kesempatan juga penting. Kesempatan untuk menjalani hari-hari sebagai manusia yang utuh. Hanya itu yang teman-teman dengan disabilitas emosi harapkan dari pekerjaan mereka. (SKS)


Interviewer: Shabrina Kuswardani

Narasumber: Arindah Arimoerti Dano, M.Psi., Psikolog (Psikolog Klinis – Advisor Pijar Psikologi)


bottom of page