Gangguan spektrum autisme atau autism spectrum disorder (ASD) adalah gangguan perkembangan yang ditandai dengan keterbatasan kemampuan berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain dan lingkungan sekitarnya. Perserikatan Bangsa-bangsa menetapkan Hari Kesadaran Autisme Sedunia diperingati setiap tanggal 2 April sebagai langkah meningkatkan kesadaran tentang autisme. Jatuhnya Hari Kesadaran Autisme pada bulan April membuat bulan ini dinobatkan sebagai Bulan Kesadaran Autisme. Ketika membicarakan individu dengan gangguan spektrum autisme, yang sering kali tidak tersorot adalah perjuangan orang tua maupun caretaker sebagai pendidik utama mereka. Klobility merayakan Bulan Kesadaran Autisme dengan mewawancarai Ibu Gayatri Pamoedji, pendiri MPATI (Masyarakat Peduli Autis Indonesia), sebuah yayasan yang bergerak untuk masa depan anak maupun orang tua dari anak dengan gangguan spektrum autisme.

Bisa ceritakan apa itu MPATI kepada Teman Inklusi yang mungkin belum mengenal MPATI?
Masyarakat Peduli Autis Indonesia atau MPATI adalah yayasan nirlaba yang awalnya didirikan tahun 1998 dengan nama KOMPAA (Komunitas Peduli Autisme dan ADHD). Secara notariat, pada tahun 2004 nama KOMPAA diubah menjadi MPATI yang lebih memfokuskan misi dan visinya dalam memberikan harapan, bimbingan dan pemberdayaan orang tua, serta pendidik dari anak dengan autisme di Indonesia. MPATI juga bermakna ganda. Makna pertama adalah mengajak masyarakat luas untuk lebih bereMPATI pada anak-anak dengan autisme. Makna kedua, menghilangkan mitos negatif bahwa anak-anak dengan autisme tidak mampu bereMPATI. MPATI percaya bahwa penanganan terpadu dari autisme terdiri dari 3 pilar utama: Diagnosa Akurat, Pendidikan Tepat, dan Dukungan Kuat. Apa motivasi Bu Gayatri membangun MPATI? Sebagai seorang ibu dari dewasa muda dengan autisme berusia 29 tahun, I have my personal experience on the challenges, yang rasanya ingin agar orang tua lain tidak perlu merasakan beratnya. Alhamdulillah kami dikaruniai kekuatan dan rezeki yang baik. Namun, bagaimana dengan orang tua lain dari kalangan prasejahtera yang harus berjuang sehari-hari untuk mencari nafkah dalam memenuhi kebutuhan dasar sebuah keluarga? Di belahan dunia manapun, mendidik dan membimbing anak dengan autisme tidak mudah dan tidak murah. Oleh karena itu, MPATI mengupayakan pendidikan yang mudah diakses, mudah diikuti, dan murah (lebih sering diupayakan gratis). Niat berbagi disambut oleh Ida Kadarusno, teman baik yang juga sama-sama mendirikan sekolah Pantara, sekolah untuk anak dengan ADHD, pada tahun 1996. Kami berdua mendirikan MPATI sebagai yayasan yang ingin mendukung orang tua, pendidik, dan terapis dari anak dengan autisme, untuk percaya bahwa ada harapan, ada jalan keluar, dan ada pendidikan yang tepat untuk anak dengan autisme. Kami hanya memberikan kail (informasi dan alat pendidikan), orang tua dan pendidiklah yang mencari ikannya (melaksanakan terapi untuk mendapatkan solusi). Apa fokus kegiatan MPATI? Kami membagi fokus kegiatan kami menjadi tiga tahap, yaitu jangka pendek (1-2 tahun), jangka menengah (3-6 tahun), dan jangka panjang (7-10 tahun). Jangka panjang tahap pertama, yaitu tahun 1998-2008, MPATI berfokus dalam memberikan jawaban atas pertanyaan "WHAT dan HOW". MPATI memfokuskan kegiatan jangka pendek dan menengah dalam memberikan bimbingan bagi orang tua, pendidik, dan masyarakat luas untuk lebih mengerti apakah autisme dan bagaimana mencari jalan keluar/pendidikan untuk autisme. Strategi yang digunakan saat itu adalah dengan mengadakan pelatihan berupa seminar dan workshop bagi guru dan orang tua, menerbitkan buku "Meniti Pelangi", mencetak dan menyebarluaskan poster “7 Ciri Utama Autisme”, memproduksi, meluncurkan, dan menyebarkan video “Penanganan Dini 1: Terapi Perilaku" secara gratis ke seluruh provinsi di Indonesia, serta campaign of awareness melalui berbagai media cetak dan elektronik. Jangka panjang tahap kedua, yaitu tahun 2009-2019, MPATI menitikberatkan fokusnya pada menjawab pertanyaan "HOW dan WHERE”. MPATI memberikan jawaban atas bagaimana mengajarkan kemandirian sehari-hari, mencari bakat anak-anak ini, sekaligus bagaimana memperluas informasi tentang anak autis agar masyarakat umum dapat lebih menerima mereka dengan segala keunikan yang mereka miliki. Jawaban atas "WHERE" adalah dengan membantu orang tua dan pendidik membuka peluang untuk mencari di mana anak dengan autisme dapat bekerja sesuai dengan minat dan bakatnya. Langkah yang dilakukan selama sepuluh terakhir ini adalah dengan mengajarkan 8 Kemandirian Sehari-hari melalui pelatihan gratis, menerbitkan dan menyebarkan komik "Anak Autis adalah Sahabat Kita Semua", mendirikan Pusat Layanan Autisme Jakarta bersama DInas Sosial Pemprov DKI Jakarta, menerbitkan dan mendistribusikan buku panduan pendidikan "200 Tanya Jawab seputar Autisme" secara gratis ke hampir seluruh taman kanak-kanak, sekolah dasar, pusat terapi di Jakarta, mengadakan konser musik gabungan antara pemusik profesional dan anak dengan autisme, membuka kesempatan magang di perusahaan swasta, mengadakan expo yang menampilkan dan menjual hasil karya anak dengan autisme, serta pelatihan dan campaign of awareness yang berkesinambungan dan bekerja sama dengan para profesional dari Amerika dan Australia. Hal apa yang ingin lebih ditingkatkan dan harapan untuk ke depannya? Kami ingin semua pihak yang berhubungan langsung dengan anak-anak dengan autisme bersedia meningkatkan partisipasinya secara aktif. Partisipasi ini terutama penerimaan dan keterlibatan orang tua untuk mau aktif mendidik dan mencari bakat anak, baik melalui pendidikan formal maupun dengan adanya prasarana dan sarana media sosial/elektronik. Disadari atau tidak, tanggung jawab terbesar pendidikan anak dengan autisme tetap ada pada orang tua. Guru dan terapis akan datang silih berganti, sementara orang tua tetap menjadi pengasuh dan pendidik utama. Tantangan terbesar apa yang dialami selama menjalankan MPATI? Meyakinkan para stakeholders atau pemangku kepentingan dalam membina masa depan anak-anak dengan autisme, bahwa anak-anak ini punya harapan dan dapat meraih masa depan yang lebih baik. Pemerintah memiliki kepentingan untuk mendidik anak-anak untuk dapat mencari nafkah dan mandiri agar kelak tidak menjadi beban negara dan menambah angka pengangguran di Indonesia. Sekolah dan pusat terapi punya andil untuk terus mengasah para guru/terapis agar tetap semangat mempelajari hal-hal baru, efektif, dan efisien dalam pendidikan murid dengan autisme. Ahli medis maupun psikolog mempunyai peluang untuk memberikan pelayanan gratis dalam mendiagnosa, dan ahli nutrisi dalam mengajarkan diet sehat yang diperlukan anak-anak, terutama bagi masyarakat prasejahtera. Namun, tantangan terbesar adalah usaha untuk meyakinkan orang tua bahwa anak adalah tanggung jawab orang tua. Di negara manapun, mayoritas anak autis yang berhasil adalah buah dari hasil kerja keras para orang tua yang tidak menyerah. Dari observasi MPATI, apa tantangan orang tua dengan anak autisme dan anak autisme yang sering ditemui dalam kehidupan bermasyarakat? Tantangan orang tua yang utama adalah menyikapi stigma aib yang ada di masyarakat terhadap predikat autisme, mengharapkan jalan pintas dan berharap ada pihak lain selain orang tua yang akan mengatasi masalah pendidikan anak dengan autisme. Bagi orang tua dari golongan kurang mampu, tantangan utama mereka adalah rendahnya pengetahuan tentang penanganan autisme, serta membagi perhatian dan waktu antara mencari nafkah dan mendidik anak dengan autisme. Pesan apa yang mungkin bisa memotivasi teman-teman autism dan orang tua dengan anak autism agar semangat dalam belajar dan bekerja? Selalu ciptakan harapan. Dengan harapan kita akan tergerak untuk melakukan aksi. Aksi menggerakkan kita untuk bertindak mencari pengetahuan dan pendidikan yang tepat dengan harapan kita akan lebih semangat untuk mencoba. Untuk orang tua, mohon selalu diingat bahwa ada jutaan orang tua lain di seluruh dunia yang bernasib sama, mereka berjuang dan berhasil. Membuka diri, mencari tahu lebih banyak tentang penanganan autisme. Belajar dari mereka yang sudah berhasil merupakan strategi yang bisa dicoba untuk meningkatkan harapan dan percaya diri. Anda tidak sendirian! Apakah ada pesan yang ingin disampaikan untuk perusahaan atau organisasi yang belum mulai/berani berinteraksi dengan penyandang disabilitas? Tak kenal maka tak sayang. Ini adalah peribahasa yang menggambarkan situasi saat ini di Indonesia. Perusahaan ragu untuk menerima anak-anak dengan autisme karena mereka belum mengenal kelebihan-kelebihan anak-anak ini. Sudah terbukti bahwa di negara maju, anak-anak dengan autisme, dengan pendampingan yang tepat dapat menjadi pekerja yang andal. Sebagian besar dari mereka adalah pekerja yang tekun, jujur, dapat diandalkan dan sungguh-sungguh. Berikan kesempatan mereka untuk magang. Bukan karena rasa kasihan, tetapi karena kemampuan dan tanggung jawab sosial kita sebagai manusia untuk memberikan kesempatan yang sama untuk mandiri. Kenalilah mereka untuk menyayangi mereka. (CTR/SKS)
Interviewer: Cicik Tri Meylany
Narasumber: Gayatri Pamoedji, Pendiri MPATI