
Senin (8/7) lalu telah dilaksanakan Seminar Disabilitas dengan tema “Menembus Rintangan, Meraih Cita-Cita” oleh Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Ristekdikti) di Hotel Sultan Jakarta. Seminar ini mengundang komunitas Teman Tuli, dosen, mahasiswa, dan juga orang tua dari anak penyandang disabilitas.
Setelah menyanyikan lagu Indonesia Raya, seminar dibuka dengan sambutan dari Direktur Pembelajaran Dr Ir. Paristiyanti Nurwardani, MP, dan di lanjutkan oleh Dirjen Belmawa Dikti, Prof Dr. Ismunandar. Dalam sambutannya, Prof. Dr. Ismunandar menyatakan bahwa hanya 200 dari 1.200 peserta SBMPTN 2019 penyandang disabilitas yang diterima pada SBMPTN 2019. Penyandang disabilitas juga berkesempatan mendapatkan beasiswa disabilitas yang disediakan oleh pemerintah dengan kuota beasiswa sebanyak 1.000 orang. Sayangnya, fasilitas beasiswa ini hanya bisa diakses oleh mereka yang diterima melalui jalur SNMPTN dan SBMPTN serta berlatar belakang ekonomi kurang mampu atau menengah.
“Di tahun 2019 ini, ada 1.200 peserta SBMPTN yang merupakan penyandang disabilitas, di mana 200 di antaranya diterima sesuai pilihan perguruan tinggi mereka masing-masing,” ujar Prof. Dr. Ismunandar, Direktur Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan (Dirjen Belmawa) Kementerian Ristekdikti.
Asep Supena, Pakar Pendidikan Inklusi dari Universitas Negeri Jakarta turut menjelaskan bahwa terdapat beberapa permasalahan terkait disabilitas dan inklusivitas pada pendidikan Indonesia.
“Ada beberapa permasalahan yang kita hadapi saat ini, seperti kebijakan dan regulasi yang belum tersosialisasikan, sarana dan prasarana yang belum sepenuhnya ramah bagi penyandang disabilitas, pemahaman dan kompetensi dosen yang belum sesuai dengan kebutuhan mahasiswa difabel, juga perguruan tinggi yang belum memiliki unit layanan disabilitas,” kata Acep Supena saat pemaparan materi.
Setelah pemaparan terkait permasalahan yang terdapat pada perguruan tinggi, Nur Azizah, Pakar Pendidikan Inklusi dari Universitas Negeri Yogyakarta menjelaskan permasalahan dari sisi kelompok disailitas untuk menyesuaikan diri di perguruan tinggi.
“Terdapat tiga kesulitan bagi kelompok disabilitas untuk menyesuaikan diri di perguruan tinggi, yaitu kondisi disabilitas yang dialami, sistem dukungan dari perguruan tinggi yang tidak terintegrasi, serta individu dan keluarga mahasiswa yang tidak mengetahui bahwa ada fasilitas pendukung bagi penyandang disabilitas yang disediakan oleh kampus,” papar Nur Azizah.
Selanjutnya Laura Lesmana Wijaya, Mahasiswa Tuli Indonesia yang sudah mendapatkan gelar sarjana dari Chinese University of Hong Kong jurusan Linguistik, berbagi cerita tentang bagaimana dirinya bisa menerima beasiswa perguruan tinggi di luar negeri.
“Saya dulu dapat beasiswa dari The Nippon Foundation saat berkuliah di Chinese University of Hong Kong,” kata Laura membuka sesi sharing.

Terakhir, Surya Sahetapy, Mahasiswa Tuli Indonesia di Rochester Institute of Technology/National Technical Institute for the Deaf juga berbagi cerita mengenai dirinya dan perjalanan hidupnya hingga bisa berkuliah di luar negeri dengan beasiswa.
“Difabel tuli itu ada beberapa macam. Ada difabel yang tidak bisa mendengar dan tidak bisa berbicara namun bisa berbahasa isyarat, kemudian ada difabel Tuli yang bisa berbicara namun belum bisa berbahasa isyarat,” ucap Surya membuka cerita.
Setelah sesi tanya jawab berakhir, seminar ditutup oleh Direktur Pembelajaran Dr Ir. Paristiyanti Nurwardani, M.P dengan foto bersama. (HNF/SKS)